Nama : Siti Ratna
Nim : 201566021
Sesi : 02
DATA TENTANG PERUBAHAN POLA PENYAKIT DAN KEMATIAN DI
INDONESIA
A. Pendahuluan
Di Indonesia transisi epidemiologi menyebabkan terjadinya
pergeseran pola penyakit, di mana penyakit kronis degeneratif sudah terjadi
peningkatan. Penyakit degeneratif merupakan penyakit tidak menular yang
berlangsung kronis seperti penyakit jantung, hipertensi, diabetes, kegemukan
dan lainnya. Kontributor utama terjadinya penyakit kronis adalah pola hidup
yang tidak sehat seperti kebiasaan merokok, minum alkohol, pola makan dan
obesitas, aktivitas fisik yang kurang, stres, dan pencemaran
lingkungan.Sehingga Indonesia menanggung beban ganda penyakit dibidang
kesehatan, yaitu penyakit infeksi masih merajalela dan ditambah lagi dengan
penyakit-penyakit kronik degenerative.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji faktor-faktor yang
berhubungan dengan pola kematian penyakit degeraratif di Indoensia, khususnya
mengkaji hubungan karakteristik dan akses yankes terhadap kematian penyakit degeneratif
ENMD (Endocrin, mentional and metabolic disease) dan DCS (Desease of
Circulatory System) pada usia ≥15 tahun melalui uji analisis regresi. Data yang
digunakan adalah data seluruh provinsi di Indonesia pada Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) 2007. Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat ekonomi miskin dan
menengah lebih berisiko terjadi kematian penyakit degeneratif ENMD dan DCS
dibandingkan tingkat ekonomi kaya. Sedangkan populasi dengan kelompok umur
45–54 tahun lebih berisiko terjadi kematian penyakit degeneratif DCS
dibandingkan umur ≥33 tahun.
B. Pembahasan
Data Kesehatan
Masalah kesehatan yang ada di dunia
ini dapat diketahui dengan pengumpulan data–data kesehatan. Data kesehatan
adalah data yang menyangkut semua aspek kesehatan, seperti distribusi usia dan
kepadatan penduduk; keadaan sosial ekonomi masyarakat; kualitas perumahan;
keadaan kebersihan dan sanitasi; angka kesakitan, kematian, dan kelahiran;
sarana dan prasarana yang tersedia di suatu daerah; kualitas dan kuantitas
personil kesehatan; serta dana yang tersedia bagi kegiatan kesehatan
masyarakat.
Setiap
tingkat organisasi kedinasan merupakan sumber data kesehatan. Sumber data ini
terbagi menjadi dua, yaitu:
1.
Sumber data primer, adalah sumber yang pertama
kali menghimpun atau mengadakan data. Datanya disebut data primer. Data primer
tentang pelaksanaan usaha kesehatan masyarakat didapat di puskesmas. Data
primer ini dilaporkan kepada dinas kabupaten, dinas propinsi, dan akhirnya
sampai ke Depkes R.I.
2.
Sumber data sekunder, adalah sumber yang
mengolah kembali data–data primer. Datanya disebut dengan data sekunder.
Pola Penyakit di Indonesia
Pola penyakit di Indonesia ini setara dengan negara–negara
lain berpeng-hasilan kurang–lebih sama. Hal ini tampak jelas apabila ditelaah
keadaan penyakit di berbagai negara, ternyata “negara yang tergolong ‘miskin’
banyak menderita penyakit menular, sedangkan negara yang tergolong ‘kaya’
banyak menderita penyakit tidak menular”. Keadaan seperti ini dapat dijelaskan
sebagai berikut:
- Negara/masyarakat miskin atau berstatus sosial ekonomi rendah, keadaan gizinya rendah, pengetahuannya tentang kesehatannya pun rendah, sehingga kesehatan lingkungannya buruk dan status kesehatannya buruk. Di dalam masyarakat sedemikian akan mudah terjadi penularan penyakit, terutama anak–anak yang merupakan golongan peka terhadap penyakit menular. Sebagai akibatnya, banyak terjadi kematian anak, sehingga usia harapan hidupnya pendek. Keadaan ini juga mendukung tingginya angka kelahiran, sehingga terdapat populasi yang muda; jadi tergolong populasi dengan risiko tinggi terhadap penyakit menular, sehingga penyakit menular terus–menerus ada, dengan demikian siklus penyakit menular menjadi lengkap.
- . Siklus penyakit tidak menular, yaitu terdapat banyak pada masyarakat dengan status sosial ekonomi tinggi, sehingga berstatus gizi tinggi, keadaan kesehatan lingkungan baik, penyakit menular rendah, angka kematian rendah, angka kematian bayi rendah, dan usia harapan hidupnya tinggi.
- . Perkembangan ekonomi diikuti dengan turunnya penyakit menular dan disertai dengan naiknya penyakit tidak menular.
Berdasarkan pola penyakit, dapat diketahui permasalahan
kesehatan yang paling menonjol di suatu daerah, sehingga dapat ditentukan usaha
kesehatan apa yang perlu dilakukan dan kegiatan apa pula yang diprioritaskan,
serta sarana dan prasarana yang diperlukan untuk melaksanakan usaha kesehatan.
Selain itu, dapat pula dilihat bahwa sarana dan prasarana akan berubah dengan
berubahnya pola penyakit. Mungkin saja bahwa saat ini diperlukan rumah sakit
khusus untuk tubercolosis, tetapi dengan adanya perubahan pola penyakit, rumah
sakit tadi tidak lagi diperlukan dan harus berubah fungsinya, misalnya menjadi
rumah sakit kanker.
Penyakit kardiovaskuler yang utama yaitu penyakit jantung
koroner dan hipertensi. Penyakit jantung koroner terutama disebabkan oleh
kelainan miokardiumakibat insufisiensi aliran darah koroner karena
arterosklerosis yang merupakan proses degeneratif, di samping faktor-faktor
lainnya. Karena itu dengan bertambahnya usia harapan hidup manusia Indonesia,
kejadiannya akan makin meningkat dan menjadi suatu penyakit yang penting;
apalagi sering menyebabkan kematian mendadak.
Penyebab degeneratif lainnya yaitu
Diabetes Mellitus (DM). Saat ini DM masih menduduki peringkat ke-empat sebagai
epidemik dunia yang menyebabkan kematian (Harmanto N, 1997). Dalam atlas
diabetes diperkirakan penduduk Indonesia di atas 20 tahun sebanyak 125 juta
dengan asumsi prevalensi DM sebesar 4,6% maka diperkirakan pada tahun 2000
jumlah penderita DM berjumlah 5,6 juta orang. Sedangkan pada tahun 2020 akan
didapatkan sekitar 8,2 juta penderita DM.
Hal ini disebabkan adanya perubahan
pola hidup di kawasan Jawa-Bali, di mana pada kehidupan daerah urban terjadi
perubahan di segala aspek meliputi sosial, ekonomi, budaya dan politik.
Kurangnya lapangan kerja, penghasilan yang tidak mencukupi, status perkawinan,
pendidikan yang semakin mahal, kawasan tempat tinggal dan sebagainya, dapat
memengaruhi kondisi kesehatan seseorang. Kondisi tersebut dapat menimbulkan
gangguan emosional berupa stres psiko-sosial. Perubahan pola makan banyak
mengkonsumsi makanan instant dan keadaan lingkungan dengan banyaknya pencemaran
yang dapat bermanifestasi pada gangguan kesehatan. Selain kepadatan penduduk
karena arus urbanisasi yang mengakibatkan buruknya sanitasi lingkungan
menyebabkan tetap tingginya penyakit infeksi.
Analisis lanjut studi mortalitas
tahun 2001 menunjukkan bahwa kematian cenderung lebih banyak di perdesaan
daripada perkotaan. Hal ini dapat disebabkan antara lain karena kurang
meratanya distribusi tenaga kesehatan di wilayah perdesaan dan kurangnya sarana
prasarana di fasilitas kesehatan yang ada. Selain itu jarak dan sarana
transportasi dapat membatasi kemauan dan kemampuan untuk mencari pelayanan
kesehatan. Hambatan sarana transportasi atau biaya transportasi seperti tidak
adanya transportasi umum menyebabkan penderita harus mengeluarkan biaya
transpor yang cukup tinggi untuk membayar sewa kendaraan. Sebagaimana dilihat
dari tempat kematian memprihatinkan karena sebagian besar (≥ 60%) kejadian
kematian di rumah. Selain itu masih banyak kematian yang tidak ada catatan
medis/tidak memadai atau tidak ada laporan ke Dinkes kab./provinsi/pusat serta
laporan tidak terstandardisasi dengan baik (ICD 10) atau laporan tidak memadai
untuk tingkat nasional.
Gambar
1. Presentasi Kematian Penyakit Degeneratif ≥ 15 Tahun Berdasarkan Penyakit
ENMD, DCS, dan Non (ENMD+DCS)
Penyakit
degeneratif adalah penyakit yang bersifat tidak menular, kronis (menahun),
timbul karena semakin menurunnya (kemunduran) kondisi dan fungsi organ tubuh
seiring dengan proses penuaan. Ada sekitar 50 penyakit degeneratif, antara
lain: penyakit jantung dan pembuluh darah (hipertensi, jantung, stroke),
endokrin (diabetes mellitus, thyroid, kekurangan nutrisi, hiperkolesterol),
neoplasma (tumor jinak, tumor ganas), osteophorosis, gangguan pencernaan
(konstipasi, wasir, kanker usus), dan kegemukan.
Gambar
2. Persentase penyebab kematian penyakit ENMD dan DCS individu usia ≥ 15 tahun,
menurut umur saat meninggal
Kematian
penyakit degeneratif DCS terbanyak pada usia ≥ 55 tahun. Memasuki usia 30
tahun, pembuluh darah manusia secara perlahan tapi pasti mulai kehilangan daya
elastisitasnya. Kondisi ini akan terus berlanjut hingga usia rata-rata manusia
setinggi 80 tahun. Proses penuaan pembuluh darah sendiri terjadi pada usia
40–50 tahun. (Setianto, B, 2007). Faktor usia memengaruhi kemunduran fungsi tubuh
termasuk kekakuan pembuluh darah (mengkerut dan menua). Bertambahnya usia juga
memengaruhi penurunan fungsi hormone estrogen dan testosterone dalam
mendistribusikan lemak, sehingga memungkinkan terjadinya penimbunan lemak dalam
tubuh. Bahayanya bila penimbunan lemak menempel pada dinding pembuluh darah
maka penimbunan ini akan mempersempit aliran darah, apalagi bila pembuluh darah
telah menua. Kondisi ini dapat meningkatkan tekanan darah yang dapat mengganggu
proses metabolisme tubuh (misal: penyumbatan pembuluh darah otak mengakibatkan
stroke, penyumbatan pembuluh darah jantung mengakibatkan penyakit jantung
koroner, dan lain-lain).
Gambar
3. Persentase penyebab kematian penyakit ENMD dan DCS individu usia ≥ 15 tahun,
menurut jenis kelamin
Perempuan
lebih banyak terdapat pada kematian penyakit degeneratif ENMD dan DCS. Usia
40–60 tahun merupakan masa krisis bagi perempuan. Pada usia ini perempuan
biasanya sedang mencapai puncak karir, dan justru pada masa tersebut mereka
akan mengalami menopause (usia 45–55 tahun). Kondisi menopouse dapat menurunkan
produksi hormon wanita (estrogen dan progesteron). Dengan penurunannya, maka
distribusi lemak tubuh mulai terganggu. Penimbunan lemak yang tidak
terdistribusi dengan baik akan memengaruhi metabolisme tubuh. Bila proses ini
diikuti dengan pola makan, gaya hidup, dan aktivitas tidak sehat secara
berkepanjangan, maka setelah usia 60 tahun individu akan rentan terhadap
serangan penyakit degeneratif. Kondisi perekonomian yang sulit seperti saat
ini, memungkinkan perempuan bekerja untuk menambah nafkah keluarga. Kondisi di
luar rumah memudahkan mereka terpapar terhadap pola hidup tidak sehat.
Kompleksnya permasalahan seperti kurangnya lapangan pekerjaan, penghasilan
keluarga tidak cukup, pendidikan anak yang semakin mahal, perkawinan tidak
harmonis, juga sering bermanifestasi pada timbulnya gangguan emosi dan stres
psiko-sosial yang sering mengawali terjadinya penyakit degeneratif. Bila
kondisi ini berlarut-larut tanpa penanganan yang cepat, maka kematian akibat komplikasi
penyakit degeneratif dapat terjadi lebih dini.
Gambar 4. Persentase penyebab kematian penyakit ENMD dan DCS
individu usia ≥ 15 tahun, menurut tipe daerah
Tipe
daerah pada kematian penyakit degeneratif ENMD dan DCS banyak terdapat di
perkotaan, karena kota merupakan daerah urban dengan berbagai permasalahannya.
Faktor penting terjadi banyaknya kematian penyakit degeneratif di perkotaan
sangat ditunjang dengan kebiasaan pola makan, gaya hidup, pola gerak yang salah
serta faktor stres psiko-sosial yang cukup tinggi.
Kondisi kesehatan di Indonesia mengalami perkembangan yang
sangat berarti dalam beberapa dekade terakhir. Sebagai contoh, angka kematian
bayi turun dari 118 kematian per seribu kelahiran di tahun 1970 menjadi 35 di
tahun 2003, dan angka harapan hidup meningkat dari 48 tahun menjadi 66 tahun
pada periode yang sama. Perkembangan ini meperlihatkan dampak dari ekspansi
penyediaan fasilitas kesehatan publik di tahun 1970 dan 1980, serta dampak dari
program keluarga berencana. Meski demikian masih terdapat tantangan baru
sebagai akibat perubahan sosial dan ekonomi:
1.
Pola penyakit yang semakin kompleks, Indonesia
saat ini berada padapertengahan transisi epidemiologi dimana penyakit tidak
menular meningkat drastis sementara penyakit menular masih menjadi penyebab
penyakit yang utama. Kemudian saat ini penyakit kardiovaskuler (jantung)
menjadi penyebab dari 30 persen kematian di Jawa dan Bali. Indonesia juga
berada diantara sepuluh negara didunia dengan penderita diabetes terbesar. Di
saat bersamaan penyakit menular dan bersifat parasit menjadi penyebab dari
sekitar 22 persen kematian. Angka kematian ibu dan bayi di Indonesia juga lebih
tinggi dibandingkan dengan kebanyakan negara tetangga. Satu dari dua puluh anak
meninggal sebelum mencapai usia lima tahun dan seorang ibu meninggal akibat
proses melahirkan dari setiap 325 kelahiran hidup. Perubahan yang diiringi
semakin kompleksnya pola penyakit merupakan tantangan terbesar bagi sistem
kesehatan di Indonesia.
2.
Tingginya
ketimpangan regional dan sosial ekonomi dalam sistem kesehatan. Dibanyak
propinsi, angka kematian bayi dan anak terlihat lebih buruk dibandingkan dengan
situasi di beberapa negara Asia termiskin. Kelompok miskin mendapatkan akses
kesehatan yang paling buruk dan umumnya mereka sedikit mendapatkan imunisasi
ataupun mendapatkan bantuan tenaga medis yang terlatih dalam proses melahirkan.
Kematian anak sebelum mencapai usia lima tahun dari keluarga termiskin mencapai
sekitar empat kali lebih tinggi dibandingkan anak dari keluarga terkaya.
Tingginya tingkat terkena penyakit, baik yang disebabkan dari penyakit menular
maupun penyakit tidak menular, telah mengurangi kemampuan orang miskin untuk
menghasilkan pendapatan, dan hal ini berdampak pada lingkaran setan
kemiskinan.\
A.
Perbandingan AKB dan AKA5 2001
B.
Perbandingan Rasio Kematian Ibu
3.
Angka penularan HIV/AIDS meningkat namun wabah
tersebut sebagian besar masih terlokalisir. Diperkirakan sekitar 120.000
penduduk Indonesia terinfeksi oleh HIV/AIDS, dengan konsentrasi terbesar berada
di propinsi dengan penduduk yang sedikit (termasuk Papua) dan di kota kecil
maupun kota besar yang terdapat aktifitas industri, pertambangan, kehutanan dan
perikanan. Virus tersebut menyebar lebih lambat dibandingkan dengan yang
diperkirakan sebelumnya. Akan tetapi penularan virus tersebut meningkat pada
kelompok yang berisiko tinggi, yaitu penduduk yang tidak menerapkan perilaku
pencegahan terhadap virus tersebut, seperti menggunakan kondom pada aktivitas
seks komersial atau menggunakan jarum suntik yang bersih dalam kasus pecandu
obat-obatan.pola/penyakitdanangkakrmatianindonesia.tugas.epidemiologi.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar